PortalRenungan
Hari ini, saya ingin berbicara tentang berbagi darah atau Donor darah. Kalau kita buka buku literatur fiqih, kita tidak akan pernah menemukan fatwanya dari imam-imam mazhab terdahulu tentang donor darah, karena di zaman para imam mazhab masih hidup, belum ada praktek donor darah seperti yang sekarang kita lakukan. Imam Abu Hanifah meninggal tahu 150 hijriyah, Imam Malik meninggal tahun 179 hijriyah, Imam Asy-Syafi''i meninggal tahun 204 dan Imam Ahmad bin Hanbal meninggal tahun 241. Kalau sekarang tahun 1434 hijriyah, berarti mereka hidup sekitar 12 abad yang lalu. Rasanya di abad itu umat manusia belum lagi mengenal istilah donor darah, jadi bagaimana mungkin kita mendapatkan jawaban tentang hukum donor darah dari mereka, sementara fenomena seperti itu belum ada?
Maka pertanyaan seperti ini tidak relevan kalau dijawab lewat pendapat imam mazhab tempo dulu. Selanjutnya bagaimana pandangan ulama kontemporer tentang donor darah? Rasanya itu lebih tepat. Dan kalau kita cari dan telurusi, ternyata memang ada jawabannya. Dan mohon maaf bagi saudara saya yang mingkin berbada pandangan tentang masalah ini.
Fatwa Syeikh Husamuddin bin Musa ''Ufanah
Beliau adalah seorang ulama besar dari Palestina yang menjadikan guru besar ilmu syariah di Universitas Al-Quds. Beliau berfatwa bahwa donor darah merupakan praktek yang sangat penting untuk dilakukan. Bertabarru'' atau menyumbang darah sebagai donor adalah sebuah amal yang disunnahkan. Bahkan beliau menyatakan tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa hukum donor darah itu sampai kepada hukum fardhu kifayah. Tentunya bila sudah ada muslim yang melakukannya, sudah gugur kewajibannya. Namun beliau menyatakaan haramnya jual beli darah. Karena tubuh manusia itu mulia, tidak untuk diperjual-belikan. Termasuk juga darahnya.
Fatwa Dr. Yusuf Al-Qaradhawi
Ulama asal Mesir yang kini menetap di Qatar ini malah menyatakan bahwa donor darah adalah bentuk sedekah yang paling utama di zaman sekarang ini.
Sebab menjadi donor darah dalam konteks ini bukan sekedar membantu, tetapi sudah sampai taraf menyelematkan nyawa seseorang. Jadi nilainya sangat tinggi di sisi ALLAH. Bahkan menyelamatkan nyawa manusia yang seharusnya mati tidak tertolong, tapi dengan berkat donor darah ini mengakibatkan bisa terus berlangsungnya kehidupan seseorang, digambarkan seperti memberikan kehidupan kepada semua manusia.
Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. (QS. AL-Maidah: 32).
Siapa yang membebaskan seorang muslim dari bebannya di dunia, maka Allah akan membebaskannya dari bebannya di hari kiamat. (HR Bukhari dan Muslim)
Maka menurut beliau orang yang mendonorkan darah akan mendapat pahala yang berlipat ganda bilangannya, sampai 700 kali lipat.
Fatwa Syaikh Zaid Bin Muhammad Al-Madkholi
Apabila terdapat padanya maslahat dan tidak menimbulkan kemudharatan yang dapat membahayakan dirinya, maka donor darah tidak terlarang. Bahkan padanya terdapat pahala dan keutamaan, sebagaimana yang termaktub dalam kitabullah dan sunnah Rasul-Nya.
“Barangsiapa yang beramal dengan sebiji debu kebaikan maka dia akan melihatnya, dan barangsiapa yang beramal dengan sebiji debu kejelekan maka dia akan melihatnya” (QS. Az Zalzalah: 7-8)
“Dan Allah akan selalu menolong hamba-Nya, selama hamba Nya selalu menolong saudaranya"
Donor Darah Tidak Mengakibatkan Kemahraman
Sebagaimana kita ketahui bahwa penyebab kemahraman hanya 3 saja, yaitu karena nasab, mushaharah (pernikahan) dan radhaah (penyusuan). Sedangkan donor darah tidak bisa diqiyaskan dengan penyusuan. Qiyas seperti itu merupakan qiyas ma''al-fariq.
Syeikh Al-''Allamah Jadil Haq Ali Jadil Haq, Syeikhul Azhar di masa lalu menyatakan bahwa donor darah sama sekali tidak bisa dijadikan sebab terjadinya kemahraman antara seorang donor dengan penerimanya. Memang ada sebagian kalangan yang berusaha mengqiyaskan antara donor darah dengan penyusuan bayi. Di mana penyusuan bayi mengakibatkan kemahraman, lalu mereka mengqiyaskan antara keduanya.
Namun beliau tegas menyatakan alasan tidak bisa diqiyaskan antara susu yang diminum bayi yang mengakibatkan kemahraman dengan darah yang didonorkan kepada pasien namun tidak mengakibatkan kemahraman. Menurut beliau karena karakter yang ada pada darah berbeda dengan karakter yang ada pada susu ibu yang diisap bayi.
Susu ibu adalah makanan buat bayi, makanya bisa mengakibatkan kemahraman antara wanita yang menyusi dengan bayi yang disusuinya. Sedangkan karakter darah tidak seperti susu ibu, darah bukan makanan bagi orang yang menerima donor darah, melainkan darah menjadi media pengantar makanan, oksigen dan lainnya. Sehingga tidak ada proses pertumbuhan dari darah yang ditransfusikan ke dalam tubuh seseorang. Itulah sebabnya darah yang didonorkan kepada pasien tidak mengakibatkan berubahnya status kemahraman antara donor dan penerima darah.
No comments:
Post a Comment