Saturday, 11 July 2015

Panduan I’tikaf Di Masjid

PortalRenungan.
Diantara rangkaian ibadah-ibadah dalam bulan suci Ramadhan yang sangat dipelihara sekaligus diperintahkan (dianjurkan) oleh Rasulullah SAW adalah i’tikaf. setiap muslim dianjurkan (disunnatkan) untuk beri’tikaf di masjid, terutama pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan. I’tikaf merupakan sarana meditasi dan kontemplasi yang sangat efektif bagi muslim dalam memelihara keislamannya khususnya dalam era globalisasi, materialisasi dan informasi kontemporer.

Definisi I’tikaf.

 
Para ulama mendefinisikan i’tikaf yaitu berdiam atau tinggal di masjid dengan adab-adab tertentu, pada masa tertentu dengan niat ibadah dan taqorrub kepada Allah SWT . Ibnu Hazm berkata: I’tikaf adalah berdiam di masjid dengan niat taqorrub kepada Allah SWT pada waktu tertentu pada siang atau malam hari. (al Muhalla V/179)

Hukum I’tikaf
Para ulama telah berijma’ bahwa i’tikaf khususnya 10 hari terakhir bulan Ramadhan merupakan suatu ibadah yang disyariatkan dan disunnatkan oleh Rasulullah SAW. Rasulullah SAW sendiri senantiasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama 10 hari. A’isyah, Ibnu Umar dan Anas ra meriwayatkan: “Adalah Rasulullah SAW beri’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan” (HR. Bukhori & Muslim) Hal ini dilakukan oleh beliau hingga wafat, kecuali pada tahun wafatnya beliau beri’tikaf selama 20 hari. Demikian halnya para shahabat dan istri beliau senantiasa melaksanakan ibadah yang amat agung ini. Imam Ahmad berkata: “Sepengetahuan saya tak seorang pun ulama mengatakan i’tikaf bukan sunnat”.

Fadhilah (keutamaan) I’tikaf.
Abu Daud pernah bertanya kepada Imam Ahmad: Tahukan anda hadits yang menunjukkan keutamaan I’tikaf? Ahmad menjawab : tidak kecuali hadits lemah. Namun demikian tidaklah mengurangi nilai ibadah I’tikaf itu sendiri sebagai taqorrub kepada Allah SWT. Dan cukuplah keuatamaanya bahwa Rasulullah SAW, para shahabat, para istri Rasulullah SAW dan para ulama’ salafus sholeh senantiasa melakukan ibadah ini.

Dari Abu Sa’id al-Khudri r.a., bahwa Rasulullah saw. beri’tikaf pada sepuluh hari pada awal bulan Ramadhan, kemudian dilanjutkan sepuluh hari pertengahan dalam sebuah kemah Turki, kemudian beliau mengulurkan kepalanya seraya menyeru manusia, maka orang-orang pun mendatanginya. Lalu beliau bersabda, “Aku telah beri’tikaf sejak sepuluh hari awal bulan ini untuk mendapatkan Lailatul-Qadar, kemudian sepuluh hari pertengahan. Lalu dikatakan kepadaku bahwa Lailatul-Qadar itu ada di sepuluh hari yang terakhir. Maka barangsiapa ingin beri’tikaf, i’tikaflah pada sepuluh malam terakhir.” Lalu orang-orang pun beri’tikaf bersama beliau. Beliau bersabda, “Aku bermimpi melihat Lailatul-Qadar pada malam ini, tetapi dibuat lupa, dimana pagi-pagi aku sujud di tanah basah. Maka carilah pada sepuluh malam terakhir dan carilah pada malam-malam ganjil.” Memang malam itu hujan, sehingga masjid tergenang air. Setelah selesai shalat Shubuh, Rasulullah saw. keluar sedang di kening beliau menempel tanah basah. Malam itu adalah malam ke-21 dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” (H.R. Bukhari, Muslim – Misykat)

Dari Ibnu Abbas r.a., bahwa ia sedang beri’tikaf di masjid Rasulullah saw.. Lalu seseorang datang dan memberi salam kepadanya, kemudian ia duduk. Ibnu Abbas r.a. bertanya, “Wahai Fulan, aku melihatmu sedang bersedih.” “Benar wahai putra paman Rasulullah, aku punya tanggungan utang kepada si Fulan. Demi kemuliaan penghuni kubur ini (kubur Nabi saw.), aku belum sanggup melunasinya,” jawab orang itu. Ibnu Abbas berkata, ”Bolehkah aku berbicara kepadanya mengenai dirimu?” Jawabnya, ”Baik, jika engkau besedia.” Maka Ibnu Abbas segera mengenakan sandalnya dan keluar dari masjid. Orang itu menegurnya, “Apakah engkau lupa bahwa engkau sedang beri’tikaf?” Ibnu Abbas dengan berlinang air mata berkata, “Tidak, sesungguhnya aku telah mendengar penghuni kubur ini (Rasulullah saw.) bersabda dan masih segar dalam ingatanku bahwa barangsiapa yang pergi demi menunaikan hajat saudaranya dan sungguh-sungguh berusaha, maka itu lebih baik baginya dari pada i’tikaf sepuluh tahun. Dan barangsiapa i’tikaf sehari karena mengharap ridha Allah, maka Allah akan menjauhkan antara dirinya dan api neraka sejauh tiga parit. Dan jarak keduanya lebih jauh daripada jarak bumi dan langit.” (H.R. Thabrani).

Dari Ibnu Abbas r.a., ia mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya surga itu wangi dan dihiasi dari tahun ke tahun untuk menyambut bulan Ramadhan. Bila malam pertama pada bulan Ramadhan datang, maka akan bertiup angin dari bawah ‘Arsy, yang disebut angin al-Mutsirah. Maka daun-daun di pepohonan surga bergesekan, juga gagang daun-daun pintu, sehingga menimbulkan dengungan suara yang sangat merdu yang belum pernah didengar oleh pendengar sebelumnya. Lalu muncullah para bidadari berdiri di halaman surga, lalu mereka menyeru, “Adakah orang yang melamar kepada Allah agar Dia mengawinkan aku dengannya?” Lalu bidadari itu berkata, “Ya Ridwan (penjaga surga), malam apakah ini?” Maka Ridwan menjawab mereka dengan talbiyah, ia berkata, “Ini malam pertama bulan Ramadhan.” Maka pintu-pintu surga dibuka untuk orang-orang yang berpuasa dari umat Muhammad. Rasulullah saw. bersabda, “Allah berfirman, “Wahai Ridwan, bukalah pintu-pintu surga; dan wahai Malik, tutuplah pintu-pintu neraka bagi orang-orang yang berpuasa dari umat Muhammad. Wahai jibril, turunlah ke bumi. Rantailah syaitan-syaitan dan belenggulah mereka dengan rantai. Lalu lemparkanlah mereka ke dalam lautan agar tidak mengganggu puasa umat Muhammad, kekasih-Ku.” Beliau bersabda, “Allah Azza Wa Jalla berfirman pada setiap malam di bulan Ramadhan kepada seorang penyeru agar menyeru tiga kali, “Adakah orang yang memohon? Maka akan Aku penuhi permohonan-nya. Adakah orang yang bertaubat? Maka akan Aku terima taubatnya. Dan adakah orang yang meminta ampunan? Maka Aku akan mengampuninya. Dan barangsiapa yang memberi pinjaman kepada Dzat Yang Mahakaya, maka ia tidak akan mengalami kekurangan, dan Dialah Dzat Yang memenuhi janji tanpa menganiaya.” Beliau bersabda, “Setiap hari pada bulan Ramadhan, yaitu saat berbuka puasa, Allah akan membebaskan sejuta ruh dari neraka yang telah diwajibkan masuk neraka. Dan pada hari terakhir bulan Ramadhan, maka Allah akan membebaskan ruh sebanyak yang telah Dia bebaskan dari awal hingga akhir Ramadhan. Dan bila tiba malam Lailatul-Qadar, Allah akan memerintahkan Jibril turun ke bumi bersama serombongan malaikat yang membawa bendera hijau dan menancapkan bendera itu di puncak Ka’bah. Malaikat Jibril memiliki seratus sayap, dua sayap di antaranya tidak pernah dibentangkan kecuali pada malam itu. Lalu ia membentangkan kedua sayapnya itu pada malam tersebut, sehingga meliputi Timur dan Barat. Lalu Jibril mengerahkan para malaikat agar memberi salam kepada setiap orang yang sedang berdiri, duduk, shalat, dan berdzikir. Para malaikat akan berjabat tangan dengan mereka dan mengamini doa-doa mereka hingga terbit fajar. Apabila fajar terbit, Jibril menyeru para malaikat, “Wahai para malaikat, berpencarlah!” Para malaikat bertanya, “Wahai Jibril, apa yang akan Allah perbuat, apakah sehubungan dengan hajat-hajat orang-orang mukmin dari umat Muhammad?” Jibril berkata, “Allah memandang mereka pada malam ini dan mengampuni mereka kecuali empat golongan manusia.” Maka kami (sahabat r.a.) bertanya, “Ya Rasulullah, siapakah mereka itu?” Beliau bersabda, “Mereka adalah orang yang meminum arak, orang yang durhaka kepada kedua orangtuanya, orang yang memutuskan tali silaturahim dan yang memusuhi.” Kami bertanya, “Ya Rasulullah, siapakah yang memusuhi itu?” Sabda beliau, “Yaitu orang yang membenci dan memutuskan persaudaraannya.” Jika malam hari raya tiba, maka malam itu dinamakan malam Jaizah (malam penerimaan hadiah). Lalu ketika tiba hari raya Fitri pada esok harinya, maka Allah mengutus para malaikat ke setiap negeri dan turun ke bumi. Mereka memenuhi tiap-tiap gang dan menyeru dengan suara yang terdengar oleh semua makhluk Allah kecuali jin dan manusia. Mereka berkata, “Wahai umat Muhammad, keluarlah menuju Tuhan Yang Mahamulia, Yang akan mengaruniakan hadiah dan mengampuni dosa-dosamu yang besar. Apabila mereka datang ke mushalla mereka, maka Allah Azza Wa Jalla berfirman kepada para malaikat, “Apakah balasan bagi seorang pekerja apabila telah menyelesaikan pekerjaannya?” Sabda beliau, “Para malaikat berkata, ‘Wahai Rabb kami, balasannya adalah upah sepenuhnya.’” Beliau bersabda, “Maka Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku jadikan kalian sebagai saksi wahai para malaikat-Ku, bahwa sesungguhnya Aku telah memberikan ridha dan ampunan-Ku sebagai balasan kepada mereka karena puasa mereka pada bulan Ramadhan, dan karena shalat Tarawih mereka. Lalu Allah berfirman, “Wahai hamba-hamba-Ku. Mohonlah kepada-Ku, maka demi kemuliaan-Ku dan kebesaran-Ku, tidaklah kamu meminta sesuatu kepada-Ku di pertemuan ini untuk akhiratmu kecuali Aku akan memberimu. Dan tidak juga untuk keperluan duniamu kecuali Aku akan memandang maslahatmu. Maka demi kemuliaan-Ku, sungguh akan Aku tutupi kesalahan-kesalahanmu selama kamu takut kepada-Ku. Demi kemuliaan-Ku dan keagungan-Ku, Aku tidak akan menghinakanmu dan tidak akan Aku perlihatkan aib-aibmu di depan orang-orang yang melanggar batas. Bertebaranlah kalian dengan membawa ampunan. Sungguh kalian telah ridha kepada-Ku, dan Aku pun ridha kepada kalian.” Para malaikat pun merasa senang dan bersuka cita, karena Allah Azza Wa Jalla telah memberi karunia kepada umat ini, pada saat mereka sedang berhari raya Fitri setelah Ramadhan.” (H.R. Ibnu Hibban, Baihaqi)

Dari Ibnu Abbas r.a., Rasulullah saw. bersabda mengenai orang yang beri’tikaf, bahwa (dengan beri’tikaf) ia melepaskan dosa-dosa dan akan diberi pahala sebagaimana orang yang berbuat kebaikan seluruhnya.” (H.R. Ibnu Majah- Misykat)

Macam-macam I’tikaf.
I’tikaf yang disyariatkan ada dua macam; satu sunnah, dan dua wajib. I’tikaf sunnah yaitu yang dilakukan secara sukarela semata-mata untuk bertaqorrub kepada Allah SWT seperti i’tikaf 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Dan I’tikaf yang wajib yaitu yang didahului dengan nadzar (janji), seperti : “Kalau Allah SWT menyembuhkan sakitku ini, maka aku akan beri’tikaf.

Waktu I’tikaf.
Untuk i’tikaf wajib tergantung pada berapa lama waktu yang dinadzarkan , sedangkan i’tikaf sunnah tidak ada batasan waktu tertentu. Kapan saja pada malam atau siang hari, waktunya bisa lama dan juga bisa singkat. Ya’la bin Umayyah berkata: ” Sesungguhnya aku berdiam satu jam di masjid tak lain hanya untuk i’tikaf”.

Syarat-syarat I’tikaf.
Orang yang i’tikaf harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut :
1. Muslim.
2. Berakal
3. Suci dari janabah (junub), haidh dan nifas.

Oleh karena itu i’tikaf tidak diperbolehkan bagi orang kafir, anak yang belum mumaiyiz (mampu membedakan), orang junub, wanita haidh dan nifas.

Rukun-rukun I’tikaf
1. Niat (QS. Al Bayyinah : 5), (HR: Bukhori & Muslim tentang niat)
2. Berdiam di masjid (QS. Al Baqoroh : 187)

Disini ada dua pendapat ulama tentang masjid tempat i’tikaf. Sebagian ulama membolehkan i’tikaf disetiap masjid yang dipakai shalat berjama’ah lima waktu. Hal itu dalam rangka menghindari seringnya keluar masjid dan untuk menjaga pelaksanaan shalat jama’ah setiap waktu. Ulama lain mensyaratkan agar i’tikaf itu dilaksanakan di masjid yang dipakai buat shalat jum’at, sehingga orang yang i’tikaf tidak perlu meninggalkan tempat i’tikafnya menuju masjid lain untuk shalat jum’at. Pendapat ini dikuatkan oleh para ulama Syafi’iyah bahwa yang afdhol yaitu i’tikaf di masjid jami’, karena Rasulullah SAW i’tikaf di masjid jami’. Lebih afdhol di tiga masjid; masjid al-Haram, masjij Nabawi, dan masjid Aqsho.

Awal dan akhir I’tikaf.
Khusus i’tikaf Ramadhan waktunya dimulai sebelum terbenam matahari malam ke 21. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW : ” Barangsiapa yang ingin i’tikaf dengan ku, hendaklah ia beri’tikaf pada 10 hari terakhir Ramadhan (HR. Bukhori). 10 (sepuluh) disini adalah jumlah malam, sedangkan malam pertama dari sepuluh itu adalah malam ke 21 atau 20. Adapun waktu keluarnya atau berakhirnya, kalau i’tikaf dilakukan 10 malam terakhir, yaitu setelah terbenam matahari, hari terakhir bulan Ramadhan. Akan tetapi beberapa kalangan ulama mengatakan yang lebih mustahab (disenangi) adalah menuggu sampai shalat ied.

Hal-hal yang disunnahkan waktu i’tikaf.
Disunnahkan agar orang yang i’tikaf memperbanyak ibadah dan taqorrub kepada Allah SWT , seperti shalat, membaca al-Qur’an, tasbih, tahmid, tahlil, takbir, istighfar, shalawat kepada Nabi SAW, do’a dan sebagainya. Termasuk juga didalamnya pengajian, ceramah, ta’lim, diskusi ilmiah, tela’ah buku tafsir, hadits, siroh dan sebagainya. Namun demikian yang menjadi prioritas utama adalah ibadah-ibadah mahdhah. Bahkan sebagian ulama meninggalkan segala aktifitas ilmiah lainnya dan berkonsentrasi penuh pada ibadah-ibadah mahdhah.

Hal-hal yang diperbolehkan bagi mu’takif (orang yang beri’tikaf)
1. Keluar dari tempat i’tikaf untuk mengantar istri, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap istrinya Shofiyah ra. (HR. Riwayat Bukhori Muslim)
2. Menyisir atau mencukur rambut, memotong kuku, membersihkan tubuh dari kotoran dan bau badan.
3. Keluar dari tempat keperluan yang harus dipenuhi, seperti membuang air besar dan kecil, makan, minum (jika tidak ada yang mengantarkannya), dan segala sesuatu yang tidak mungkin dilakukan di masjid. Tetapi ia harus segera kembali setelah menyelesaikan keperluanya .
4. Makan, minum, dan tidur di masjid dengan senantiasa menjaga kesucian dan kebersihan masjid.

Hal-hal yang membatalkan I’tikaf.
1. Meninggalkan masjid dengan sengaja tanpa keperluan, meski sebentar, karena meninggalkan salah satu rukun i’tikaf yaitu berdiam di masjid.
2. Murtad ( keluar dari agama Islam ) (QS. 39: 65)
3. Hilangnya akal, karena gila atau mabuk
4. Haidh
5. Nifas
6. Berjima’ (bersetubuh dengan istri) (QS. 2: 187). Akan tetapi memegang tanpa syahwat, tidak apa-apa sebagaimana yang dilakukan Nabi dengan istri- istrinya.
7. Pergi shalat jum’at ( bagi mereka yang membolehkan i’tikaf di mushalla yang tidak dipakai shalat jum’at)

I’tikaf bagi Muslimah.
I’tkaf disunnahkan bagi wanita sebagaimana disunnahkan bagi pria. Selain syarat-syarat yang disebutkan tadi, i’tikaf bagi kaum wanita harus memenuhi syarat-syarat lain sbb:
1. Mendapat izin (ridlo) suami atau orang tua. Hal itu disebabkan karena ketinggian hak suami bagi istri yang wajib ditaati, dan juga dalam rangka menghindari fitnah yang mungkin terjadi.
2. Agar tempat i’tikaf wanita memenuhi kriteria syari’at.

Kita telah mengetahui bahwa salah satu rukun atau syarat i’tikaf adalah masjid. Untuk kaum wanita, ulama sedikit berbeda pendapat tentang masjid yang dapat dipakai wanita beri’tikaf. Tetapi yang lebih afdhol- wallahu ‘alam- ialah tempat shalat di rumahnya. Oleh karena bagi wanita tempat shalat dirumahnya lebih afdhol dari masjid wilayahnya. Dan masjid di wilayahnya lebih afdhol dari masjid raya. Selain itu lebih seiring dengan tujuan umum syari’at Islamiyah, untuk menghindarkan wanita semaksimal mungkin dari tempat keramaian kaum pria, seperti tempat ibadah di masjid. Itulah sebabnya wanita tidak diwajibkan shalat jum’at dan shalat jama’ah di masjid. Dan seandainya ke masjid ia harus berada di belakang. Kalau demikian, maka i’tikaf yang justru membutuhkan waktu lama di masjid , seperti tidur, makan, minum, dan sebagainya lebih dipertimbangkan. Ini tidak berarti i’tikaf bagi wanita tidak diperboleh di masjid. Wanita bisa saja i’tikaf di masjid dan bahkan lebih afdhol apabila masjid tersebut menempel dengan rumahnya, jama’ahnya hanya wanita, terdapat tempat buang air dan kamar mandi khusus dan sebagainya. Wallahu ‘alam.

No comments:

Post a Comment